TzV5laRyzIFExM7bghzH2YzXZgfj4xc8paleSd48
Bookmark

Contoh Artikel Opini

Apakah Pondok Pesantren Bisa Menjadi Tempat Yang Aman Dan Nyaman Bagi Santri Untuk Menimba Ilmu Agama ?

Dokumentasi Santri Putra Oleh Media Ponpes Ihya Ulumiddin 

Pamarican, Ciamis _ “Disini tidak ada pembulian kan mbak ?”
Pertanyaan itulah yang saya dapat tatkala menerima pendaftaran santri baru tahun ini. Tidak heran, jika saat ini hal itu menjadi sorotan dan pertanyaan pokok orang tua saat akan mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren. Saya pun menyadari serta memaklumi perilaku cemas orang tua tersebut. 
Saat ini sudah tidak asing lagi, jika beredar di media sosial tentang adanya pelaku bullying di sekolah, diskriminasi di tempat kerja bahkan tindak kriminalitas lain dimana mana. Namun percayakah kalian, jika tindak laku tersebut juga bisa terjadi di lembaga diniyah atau pondok pesantren.? 
Dan apakah saya akan kaget dengan pertanyaan yang muncul dari orang tua yang berusaha memastikan keamanan anak yang akan dititipkannya.? Jawabannya, tidak sama sekali. 
Zaman sekarang teknologi sudah sangat canggih. Orang tua sebenarnya tidak perlu khawatir tentang pengasawan dan informasi kegiatan sehari-hari anaknya di pondok pesantren. Mulai dari kegiatan sehari-hari anak dalam jam pengajian, absensi shalat berjamaah, keuangan dan hasil pembelajaran semua bisa di akses melalui aplikasi atau info media sosial terkait, seperti yang kami terapkan di pondok pesantren Ihya Ulumiddin. Kami menyediakan dan mengoprasikan aplikasi CARDS untuk memudahkan orang tua dalam mengatur keuangan serta memantau pembelajaran para santri di pondok pesantren dari rumah dengan melihat presensi absensi online yang kita buat melalui google form. Selain itu, kami juga memiliki akun sosial media resmi yang bisa di jangkau khalayak umum sebagai syiar dan informasi untuk melihat berbagai kegiatan yang dilakukan santri disini. 
Namun tidak dapat dipungkiri, dengan kemudahan ini pula banyak kasus- kasus yang dengan cepat dapat diketahui dan bahkan tanpa filterasi beredar di media sosial. Tidak sedikit pula yang membawa citra buruk bagi pondok pesantren yang orang yakini itu adalah tempat teraman menitipkan anak-anaknya di era gempuran banyaknya pergaulan bebas diluar sana. Jika hal itu dibiarkan terus menerus tanpa adanya perhatian dari pihak berwenang, maka bukan hanya satu, tapi semua lembaga pondok pesantren akan dipandang sebagai tempat yang tidak aman lagi bagi tumbuh kembang santri. 

Fakta Berbicara 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh UNICEF dan PUSKAPA, Universitas Indonesia di 2014, 51 persen santri yang disurvei pernah mengalami kekerasan fisik, sementara 48 persen lainnya pernah mengalami kekerasan verbal.
Tidak hanya itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas dalam hal kasus kekerasan seksual dalam periode 2015-2020. Kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di universitas dengan angka 27 persen. Kemudian, 19 persen terjadi di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam, 15 persen terjadi ditingkat SMU/SMK, 7 persen terjadi di tingkat SMP, dan 3 persen masing-masing di TK, SD, SLB, dan pendidikan berbasis agama Kristen. Jumlah tersebut adalah angka yang diadukan ke Komnas Perempuan, karena banyak kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah namun tidak dilaporkan.
Memang betul jika dikata demikian. Dan hal ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali di sebuah lembaga pondok pesantren. Pantas saja jika orang tua menjadi ragu dan mulai resah ketika harus melepas anaknya ke pondok pesantren. Misalnya, seperti yang kita ketahui bersama dengan adanya kasus yang sempat viral di tahun 2021 sampai awal tahun 2022 lalu, tentang Herry Wirawan seorang pengasuh pondok pesantren di Bandung yang tega memperkosa 13 santriwatinya hingga hamil dan melahirkan, ia juga diduga telah menyelewengkan dana bantuan.
Masih segar pula, diingatan dengan kejadian yang mengenaskan pada 2022, terjadi di pondok pesantren modern Gontor. Seorang santri yang meninggal akibat dianiaya dua seniornya. Korban berinisial AM (17) dipukuli karena disebut menghilangkan alat berkemah. Mirisnya, kejadian ini diduga sempat ditutup-tutupi oleh pihak pondok pesantren.
Masih kasus yang sama, di tahun 2023 yang melibatkan kembali seorang pimpinan pondok pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi Semarang yakni Bayu Aji Anwar yang dilaporkan ke polisi atas dugaan kasus pelecehan kepada 6 santriwatinya. Usut punya usut pondok tersebut memang tidak memiliki izin oprasional 
Tidak hanya itu, baru-baru ini pada Februari 2024, Kematian Bintang Balqis Maulana (14) yang meninggal diduga dianiaya rekan-rekannya. Bintang berpulang setelah diduga mendapat penganiayaan dari sesama santri di Pesantren Al-Hanifiyyah di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Adanya kasus dugaan penganiayaan berujung kematian seorang santri di bawah umur ini lagi- lagi tidak lepas dari lengahnya pengurus pondok pesantren.
Diperkuat oleh data layanan SAPA 129, kasus perundungan di lingkungan pendidikan baik di sekolah atau pesantren pada tahun 2023, mencapai 49 kasus dengan jumlah 63 korban. Adapun periode Januari-Februari 2024, tercatat 3 kasus dengan 3 korban di lingkungan pendidikan.
Ini adalah sebagain kecil contoh kasus yang terekspos media, nyatanya masih banyak yang bungkam dan enggan untuk bersuara karna mereka takut keadilan tidak berpihak pada kebenaran yang ada, dan dari sekian banyaknya kasus, baik dari bullying atau perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di pesantren seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya menciptakan ruang aman dan nyaman bagi santri untuk menimba ilmu.

Namun Mengapa Hal Itu Bisa Terjadi Dan Bahkan Selalu Terulang ? 

Mengutip dari edukasi.okezone.com, seorang Sosiolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Ida Ruwaida menjelaskan setidaknya ada empat faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren.
Pertama adalah kultur atau tradisi pesantren yang paternalistic. Yaitu pesantren cenderung menempatkan sang kyai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, atau bahkan role model. Dengan begitu kepatuhan menjadi bagain yang ditanamkan dan bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa. Ditambah lagi dengan karakter pondok pesantren yang tertutup dan pimpinannya biasanya menjadi sosok yang dihormati, sehingga banyak yang enggan melapor.
Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran. Dulu, praktik ini sering terjadi, menggunakan hukuman fisik agar pelaku merasa jera. Namun, saat ini hal itu tidak bisa dibiarkan terus berkembang. Banyak cara, banyak informasi yang bisa kita dapat melalui media sosial atau orang yang lebih berpengalaman (ahlinya) dan masih ada acara lain yang bisa di tempuh untuk mendidiknya selain dengan kekerasan atau hal yang dapat membuat down mentalnya. 
Faktor ketiga, dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan. Dimana mereka akan saling menutupi dan menguatkan bahkan itu dalam sebuah kesalahan, menganggap semua akan baik-baik saja dan akan cepat dilupakan serta terabaikan.
Faktor terakhir adalah minimnya pemahaman tentang keberagaman. Bahwasannya pesantren bukanlah area yang homogon. Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam. Itu akan menjadi faktor yang mempengaruhi karakter seseorang yang terkadang memang tidak bisa dengan mudah berubah hanya karena mereka tinggal di pondok pesantren. Seorang santri itu belajar untuk memahami dan tahu soal agama tapi belum tentu teruji bisa mengamalkannya.
Diperkuat oleh pendapat dari Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’i, ia mengatakan kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren biasanya memiliki karakter sendiri, di mana pelakunya mencari pembenaran atas perilakunya melalui tafsir agama yang keliru. Jika hal itu terus menerus dianut atau dinormalisasikan, maka akan memberikan citra buruk untuk kemajuan pondok pesantren yang diyakini mampu membekali para santri dengan ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Hal itu mungkin sudah tidak akan berlaku lagi dan tidak ada bedanya mereka yang di pondok dengan mereka yang ada di sekolah formal jika kita dan pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Bahkan Komisioner Alimatul Qibtiyah yang merupakan Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa sejumlah guru, dosen, dan tokoh agama yang berkiprah di dunia pendidikan turut menjadi pelaku kekerasan. Dan itu sudah nyata terjadi. 
Dengan demikian, perlunya pemerintah untuk meninjau pola pengasuhan yang diterapkan di pesantren. Sebab pesantren berfungsi mendidik, melindungi, mengayomi, dan memberdayakan santri, bukan memanfaatkan, apalagi mengeksploitasi. Selain itu pengelola pesantren juga perlu paham bahwa santri masih tergolong anak-anak (12-19 tahun) sehingga hak-hak anak perlu dihargai, dipenuhi, dan dilindungi.

Titik Balik 

Begitu mendengar Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI telah mengeluarkan Keputusan Nomor 1262 Tahun 2024 yang secara resmi menetapkan regulasi untuk pengasuhan yang ramah anak di pesantren membuat saya percaya diri, bahwa ini adalah awal yang baik untuk mempertahankan serta mendorong kemajuan dan perkembangan pondok pesantren agar tetap menjadi rujukan orang tua dan khalayak banyak sebagai tempat teraman dan paling nyaman untuk menimba ilmu dan pengetahuan agama. 
Dengan adanya program Pesantren Ramah Anak yang membawa tujuan memastikan pengasuhan di pesantren memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak anak seperti pemberian kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan itu dapat menegaskan bahwa pesantren yang tidak mematuhi regulasi akan menghadapi konsekuensi berupa peninjauan kembali oleh Kemenag terkait pengakuan, dukungan, dan bantuan bagi pesantren tersebut.
Harapannya, tidak akan ada lagi kejadian dimana orang tua bingung dan salah memilih pondok pesantren dengan alasan karna lembaga yang mereka temui tidak memiliki izin oprasional sehingga berresiko terjadinya kembali kriminalitas, pelecehan seksual atau bahkan penyimpangan ajaran. Itu tidak akan terjadi. 
Saya sebagai salah satu pengurus, yang merasa ikut andil dalam mengurus para santri di pondok pesantren sangat mendukung agar segera terrealisasinya program ini. Karna, setiap tahun kasus selalu bertambah dan membuat para orang tua semakin resah. Penanganan saja tidak cukup untuk menekan angka yang naik di setiap tahunnya, kita memang perlu solusi pencegahan dibanding hanya menjalankan sanki. Sehingga kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan apalagi sampai menelan korban jiwa.
Dalam penutup tulisan ini saya mengajak semua elemen terkait, untuk bisa bekerja sama ikut andil dalam mensukseskan, menyambut 1 dekade peringatan Hari Santri Nasional tahun 2024, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik bagi seluruh santri di Indonesia agar dapat membangun dan meneruskan perjuangan bangsa kita kedepan. 


'' Tulisan ini dibuat bertujuan sebagai salah satu acuan pembaca dan partisipasi aktif penulis dalam menyuarakan pendapatnya dengan melihat fakta dan berita yang sebelumnya telah tersebar dibeberapa laman media, harapannya semoga teman-teman literasi tidak berpuas dan tetap gemar mencari informasi penguat lainnya serta dapat dengan bijak menyikapi setiap perkara "

2

2 komentar

  • Admin Patch
    Admin Patch
    31 Oktober 2024 pukul 11.58
    Keren Min
    • Admin Patch
      Rekan Admin
      1 November 2024 pukul 00.30
      Terima kasih Minpa,, terus dukung Remin dengan cara memberi tanggapan atau pertanyaan untuk kami ulas..
    Reply